Beberapa saat menjelang senja, seekor burung mendarat di pagar depan rumahku. Dalam beberapa detik ia meloncat ke dahan pohon jambu air. Satu demi satu dahan itu ia lompati. Ia panjat dengan susah payah. Kupertajam mataku memandangnya karena tak percaya. Bukankah burung bisa terbang dengan mudah?

Ternyata sebelah kakinya sulit digerakkan. Mungkin telah terluka atau patah. Di paruhnya ada remah-remah makanan untuk anak-anaknya yang menanti di dalam sarang kecil yang menempel pada salah satu dahan, dengan cuitan rindu dan lapar.

Cinta sang burung memberikan tenaga pada sebelah kakinya yang sakit dan tetap berjuang melompat dari ranting ke ranting untuk mencapai sarang, demi anak-anak yang dicintainya. Perjuangan dan pengorbanan pastinya adalah sebuah kenikmatan bagi sang induk burung. Tak ada jarak terbang yang tak mungkin ditempuh dan tak ada sarang yang terlampau tinggi untuk diraih.

Sang induk burung telah menggugah kesadaranku bahwa cinta adalah keperdulian yang sangat dapat disaksikan lewat tindak laku ketika kesulitan menghadang. Bukan sekedar perhatian dan kata-kata. Keperdulian adalah tenaga cinta yang berwujud kerja keras dan perjuangan sebagai buktinya.

Buya Hamka pernah berkata: "Cinta bukan mengajar kita lemah, tapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri tapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan kodrat tapi membangkitkan semangat." ***