Tono dan Tini adalah sepasang remaja yang bertetangga di sebuah kota kecil di Sumatera Selatan. Mereka berteman dari kecil dan tumbuh besar dalam keluarga yang sederhana. Sejak sekolah dasar meskipun berbeda sekolah, mereka selalu pergi pulang bersama setiap hari. Ketika duduk di kelas 2 SMA, hati mereka mulai bertaut. Orang tua Tini tidak setuju hubungan mereka menjadi serius, karena Tini akan dijodohkan dengan Toni anak pemilik pabrik furniture tempat ayahnya Tini bekerja. Tini tak gembira, karena ia dan Tono tahu kalau Toni hanyalah seorang anak manja bertabiat buruk.

Dua tahun mereka menjalani hubungan secara diam-diam. Beberapa kisah kucing-kucingan yang seru terjadi. Tono dan Tini tak bisa lagi selalu pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Namun semua kesulitan itu justru terasa penuh sensasi dan keindahan. Walau hanya satu-dua menit, setiap pertemuan mereka terasa sangat berarti karena harus dimulai dengan suatu perjuangan. Hingga akhirnya mereka lulus SMA dan Tini menangis tersedu tak kuasa melawan kehendak ayahnya.

Secara diam-diam, Tono dan Tini bertemu untuk terakhir kalinya dua hari menjelang pernikahan Tini. Air mata membasahi baju Tini. Tono merasakan nafasnya sangat berat karena mencoba membuka pintu keikhlasan selebar-lebarnya. Dia berjanji, bila terjadi sesuatu pada Tini, dia akan hadir untuk Tini. Malah andai terjadi perceraian antara Tini dan Toni, maka Tono akan menerima Tini kembali, tentu saja bila Tono belum menikah. Begitulah janji Tono sambil mencium jemari Tini yang juga basah karena air mata.

Tini pun dinikahi Toni dan diboyong ke Jakarta. Toni tak mengijinkan Tini kuliah. Hidupnya akan penuh kemudahan karena Toni yang akan memberikan segalanya. Sementara Tono harus melapangkan dadanya menerima kenyataan. Untunglah, Tono berhasil lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru untuk perguruan tinggi negeri terkenal di Yogyakarta. Kebetulan ada pamannya yang menetap disana dan bersedia menampung Tono.

Singkat kata, Tono ke Yogya dan kuliah di sana. Tono berhasil melewati semester demi semester di Fakultas Hukum dengan baik. Prestasi belajarnya cemerlang. Ia banyak memiliki teman. Salah satu dari mereka adalah Tina, yang masuk ke perguruan tinggi itu setahun setelah Tono. Ketika Tono duduk di semester terakhir, Tina menjadi kekasih Tono.

Sesekali Tono dan Tini masih berkomunikasi lewat surat atau telepon. Tetapi Tini tidak banyak bercerita perihal keluarganya dengan pertimbangan tidak ingin mengganggu keseriusan Tono belajar. Tono juga tidak banyak bercerita tentang Tina, kecuali memberitahu Tini bahwa ada seseorang yang baik hati dan sekarang sedang dekat dengannya.

Keluarga Tina adalah keluarga berada, tapi mereka menyukai Tono yang sederhana, pintar dan sopan. Kisah cinta Tono dan Tina berjalan penuh keindahan. Setelah lulus tahun depan, Tono akan bekerja di perusahaan ayahnya Tina sambil menunggu Tina lulus untuk kemudian menikah dengan Tono. Bukan main bahagianya Tono. Orang tuanya di Sumatera juga sudah mengetahui dan ikut bersyukur akan masa depan anaknya. Tina pun begitu. Dia sangat berbahagia bisa dipertemukan dengan Tono yang akhirnya akan menjadi suaminya.

Di ibukota Jakarta, kenyataan hidup Tini jauh berbeda. Dia sudah memperoleh seorang putri dari pernikahannya dengan Toni. Namun sayang sekali, Toni ternyata tak pernah berubah membaik. Rumah tangga mereka sering diwarnai pertengkaran hebat karena hampir setiap hari Toni pulang menjelang pagi. Kadang-kadang temannya ikut ke rumah mereka, laki-laki maupun perempuan. Mereka sering pulang dalam keadaan mabuk. Toni kian kasar memperlakukan Tini sehingga akhirnya Tini meminta bercerai. Dengan senangnya Toni mengabulkan permintaan itu, bahkan menyerahkan anak mereka kepada Tini.

Sebelum pulang ke Sumatera, Tini menyempatkan pergi ke Yogyakarta menemui Tono. Dari rumah pamannya Tono, Tini mendapat kabar bahwa Tono sedang menghadiri upacara wisuda Tina. Di halaman parkir kampus mereka bertemu ketika Tono, Tina dan kedua orang tuanya keluar dari gedung tempat upacara wisuda berlangsung.

Tini berdiri agak lemah. Tangan putrinya tetap ia pegang. Sambil meneteskan air mata Tini menceritakan keadaannya dan maksudnya untuk pulang ke Sumatera. Tono terenyuh. Teringat janjinya yang pernah diucapkan saat pertemuan terakhir 2 hari sebelum Tini menikah. Janji itu berdengung di kepalanya. Tini tertunduk kian lemah dan siap melangkah pergi mengikhlaskan kebahagiaan Tono.

Sebagai seorang lelaki, Tono harus membuktikan kata-katanya. Tetapi dia juga sangat tak tega menghancurkan perasaan Tina. Tini tetap tertunduk. Tono gelisah. Tina sudah hampir menangis. Orang tua Tina harap-harap cemas menunggu sikap Tono. Sang waktu berhenti. Semua membatu.

Tono menoleh kepadaku yang tertegun di depan mesin ketik, lalu berkata: "bang Hero ... bantu aku." ***