Kawasan Mangga Dua Terpadu punya nilai historis buatku. Pasar Pagi, ITC, Harco Mas, Mal, Kawasan Batik, Duzit, Harco, Abdad, sampai ke WTC di tepi Ciliwung dan Mangga Dua Square yang panjang membentang. Aku berdecak kagum melihat semua itu sekarang. Walaupun ada juga yang menyebalkan seperti kemacetan dan penghijauan yang hilang. Bangunan pertokoan dan perkantoran berdesakan mengalahkan luas areal parkir yang dipenuhi kendaraan para pemilik toko.

Sejak umur 2 tahun hingga kelas 3 SMA aku tinggal di wilayah itu. ITC dan Pasar Pagi dulunya Tempat Pemakaman Umum tepat di seberang kantor Lurah. Sisanya pemukiman warga dan pasar tradisional (Pasar Bedeng).

Mangga Dua Square dulu kompleks Akademi Ilmu Pelayaran (AIP), bersebelahan terpisah rel kereta api dengan Mangga Dua Bedeng yang sekarang jadi Harco Mangga Dua. Di komplek kampus AIP ada stadion sepak bola, lintasan lari, kolam renang, lapangan voli, lapangan bulutangkis, lapangan tenis, sekolah Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, taman bunga, perumahan karyawan dan dosen AIP. Luas bukan? Seluas Mangga Dua Square sekarang itulah!

TK dan SD di komplek AIP itu adalah sekolahku dulu. Namanya Barunawati I. Sekolahnya bagus. Fasilitasnya ikut fasilitas kampus. Setiap hari aku jalan kaki ke sekolah karena rumahku di seberang komplek AIP (sekarang gedung WTC), terpisah oleh jembatan di atas sungai Ciliwung.

Lokasi WTC itulah dulu lokasi kampungku. Membentang ke utara sampai kebun sayur tepi rel kereta api dari stasiun Tanjung Priok ke stasiun Kampung Bandan. Rumahku dan beberapa tetangga dikelilingi oleh barak pekerja Dinas Pekerjaan Umum dan bangunan tua tak terpakai yang luas dan angker. Entah bekas apa, tapi di salah satu dindingnya tertulis "moestikaratoe". Di sebelah bangunan tua itu ke utara ada pabrik elektronik PT Galindra (Galva).

Jembatan di depan komplek AIP kini sudah tak ada. Sekarang ada 2 jembatan. Satu untuk kendaraan dari Gunung Sahari ke Mangga Dua Raya, dan satu lagi untuk arah sebaliknya melewati samping WTC, lantas belok kiri ke Ancol atau belok kanan ke Gunung Sahari. Jembatan yang dulu cuma 1 namanya Jembatan Baru, sekaligus jadi sebutan nama kampungku. Jembatannya tak pernah sepi karena menjadi penghubung antara Gunung Sahari dan wilayah Kota Tua. Di sana ada pangkalan bemo, becak, helicak, minicar, warung-warung kelontong, dan lain-lain.

Dahulu kondektur bis Arion nomor 60 trayek Pasar Senen-Tanjung Priok berteriak "jembatan baru!" atau "baru ... baru!" Akhirnya yang terkenal bukan Mangga Dua, tapi Jembatan Baru. Sebab yang mau ke Mangga Dua dan Glodok turun di situ. Tinggal naik ojek sepeda, bahkan berjalan kaki. Aku sering ikut kakekku ke Glodok berboncengan sepeda kumbang.

Setiap hari sejak menjelang maghrib hingga hampir tengah malam, Jembatan Baru menjadi pasar malam. Pedagang busana, aksesoris, buah-buahan, makanan, sampai tukang obat tumplek di sana. Ada macam-macam atraksi tukang obat yang bisa kita lihat di situ.

Selepas tengah malam, masih ada tukang mie tek-tek dan warung kopi yang masih buka sampai subuh. Sekelompok anak muda bernyanyi di ujung jembatan dekat box kamar telepon umum. Saat remaja, hampir sering aku ada di tengah mereka.

Banyak sekali temanku di Jembatan Baru. Kami semua rukun dan kompak. Teman sekampung sekaligus teman sepengajian di madrasah, teman main bola, main layangan dan memancing ikan di Ciliwung yang dulu bening. Di Jembatan Baru juga aku mengenal dan suka pada seorang gadis kembangnya kampung sebelah (Mangga Dua Bedeng).

Bila ingin nonton bioskop, kami menyeberang Jl. Gunung Sahari ke kampung Pademangan. Di sana ada bioskop Pademangan, Surya, Elang, Nusa Laut. Pilihan lain adalah bioskop Garuda dan Asri di Pasar Bedeng dan Mangga Dua Abdad. Paling mahal tiketnya Rp 250. Khusus bioskop Garuda, kita harus bubar kalau hujan turun karena tak ada atapnya alias "misbar"(gerimis bubar). Tetapi kita mendapat tiket pengganti yang bisa dipakai untuk nonton lagi esok. Harga tiket bioskop Garuda yang terakhir kuingat Rp 150.

Buat mereka yang pernah atau sering melewati daerah Mangga Dua, terutama lewat di depan gedung WTC ke arah Ancol, cobalah perhatikan tulisan WTC MANGGA DUA yang terpajang di gedung itu. Tepat di bawah huruf "C" nya, dulu ada gang kecil yang hanya cukup dilalui sepeda motor. Di gang itulah rumahku. ***