Ketika kata-kata tak mendapatkan ruang untuk bersuara dan terdengar, ada baiknya biarkan saja waktu yang berbicara. Sebab cepat atau lambat, kebenaran pasti akan meresap mengisi tiap celah kehidupan. Orang boleh bersikap congkak menolak kebenaran. Entah karena belum menyadari kebenaran itu karena belum membuktikannya, atau memang karena pengakuan hati kecilnya akan kebenaran telah tertelan habis oleh gelombang keangkuhan. Tetapi demi waktu yang tak pernah lelah, kita semua akan dapat melihat atau merasakan kebenaran mengalir dalam darah di seluruh tubuh, merembes hingga ke tulang. Tinggal urusan waktu, dan waktu tak pernah berhenti juga tak bisa dihentikan.

Kita boleh bersikap seolah pasrah menelan bulat-bulat kesalahan lalu berkata: “apa yang akan terjadi, terjadilah …” Namun hati nurani tak pernah bisa berdusta. Kelak sang waktu akan membuka kebenaran yang hadir mengoyak-ngoyak ketentraman. Mengantarkan sanksi. Seperti pencuri yang mengakui kesalahannya, tetapi vonis penjara tetap berlaku baginya. Kata-kata sarat makna penyesalan akan datang menyerang dan kita tak pernah bisa membendungnya. Seperti peluru berdesing di udara. Seperti angin topan menabrak dedaunan. Riuh seperti derasnya butiran hujan menghantam kaca jendela. Penderitaan batin terus berbisik di telinga.

Karena itu tak selayaknya kita menolak kebenaran. Kebenaran dalam kata-kata. Kebenaran dalam sikap dan tingkah laku. Kebenaran dalam hati dan pikiran. Karena kebenaran yang didustai akan berbalik melesat kencang seperti anak panah dan tertancap di kening kita. Ketika itulah sang waktu lantang berbicara … ***