Menjelang berakhirnya 2008, seorang perempuan menelepon memintaku datang ke satu resto tak jauh dari rumahku. Kuambil Vespa bututku dan langsung melesat menerjang semua polisi tidur di jalanan komplek rumahku. Vespa tua itu terbatuk-batuk dan hampir patah tulang-tulangnya. Aku tersenyum sendiri dan menyesali tingkahku. Sesungguhnya Vespa butut inilah yang berjasa mengantarku “dinas” berkunjung ke rumah pacarku 19 tahun yang lalu dan yang saat ini sedang menungguku di resto itu!

Memasuki rumah makan itu kuperlambat langkah sambil memutar pandang. Tatapan beberapa pelayan mengikutiku cemas penuh tanya karena saat itu penampilanku acak-acakan dengan rambut panjang, kumis tebal dan berewok di pipi hingga dagu. Di ujung lorong kakiku kaku sejenak saat melihat senyum manis yang dulu sering kupandang tanpa bosan. Apa ini mimpi? Jelas bukan. Lembut tangannya menyadarkanku saat kami bersalaman. Dia bertiga dengan dua teman yang juga kukenal.

Kami langsung akrab bertukar cerita. Terlempar ke masa lalu. Kadang penuh tawa, kadang serius. Tak sampai satu jam namun sarat dengan nostalgia, saat aku bersamanya menjalani banyak cerita suka duka hingga saat aku merelakan kepergiannya yang tanpa alasan pasti. Dia kagum karena aku masih ingat semua peristiwa yang pernah kami alami. Dia memohon maaf atas kepergiannya dulu. Aku pun meminta maaf karena tak berusaha maksimal menahan dia pergi. Terhapuslah sudah kerinduan selama 19 tahun. Terkikislah sudah semua prasangka. Tersenyumlah kami berdua. Senyuman dia yang tetap berseri seperti dulu, dan senyumanku yang kuusahakan semanis mungkin di wajahku yang tidak beres karena lama tidak bercukur.

Hikmah utama yang kudapat dari menit-menit berharga itu adalah bahwa sekali aku mencintai seseorang, maka ternyata rasa cinta itu tetap punya kavling dalam hati, meski aku tak menghabiskan sisa hidup bersamanya. Telah ada nilai-nilai yang membuat aku harus berdiri di balik pagar, menahan rasa ingin memiliki. Hikmah lainnya adalah bahwa bila kita ikhlas menerima kenyataan, ternyata pengalaman sepahit apapun akan menjadi kisah yang manis dikenang setelah waktu kian jauh bergulir. Yang terakhir adalah sebuah keyakinan dan pengakuan lebih dalam tentang indahnya ikatan silaturahmi.

Sebelum berpisah, aku katakan padanya bahwa dengan siapapun yang ada di hidupnya sekarang, dimanapun dia berada, dan apapun yang sedang dia lakukan, kumohon dia mau percaya bahwa aku tetap berharap kebahagiaan selalu bersamanya. Sama seperti doaku pada semua orang yang kusayangi di dunia ini.

Aku tak tahu apakah menit-menit pertemuan itu berarti baginya. Yang jelas aku merasakan menit-menit itu adalah menit-menit yang tak ternilai harganya. Menit-menit berharga yang mengantarkan aku pada kedamaian, ketentraman hati dan kepasrahan.

Tak ada pertemuan yang tak berakhir. Dia harus kembali ke negerinya. Di awal pertemuan aku yakin ini bukan mimpi. Tetapi di detik-detik akhir pertemuan, aku merasa seperti terbangun dari mimpi dan ingin segera tertidur lagi.

Sebelum melambaikan tangan melepas kepergiannya untuk kedua kali, aku katakan padanya bahwa kini aku lebih siap menghadapi 19 tahun berikutnya tanpa pernah melihatnya lagi. Lalu Vespa bututku terbatuk-batuk lagi mengantarku kembali ke rumah. ***