Dari dulu aku tak pernah merasa mampu menulis lagu yang bagus. Semuanya kunilai sederhana saja. Walau ada juga sedikit teman yang bilang laguku bagus dan komersil. Cacian dan pujian datang silih berganti. Lebih banyak caci maki daripada pujian yang melenakan. Makanya aku tak pernah cukup 'pede' mengkomersilkan lagu-lagu itu.
Sekali waktu pernah seorang siswa SMA datang ke belakang panggung ingin berkenalan dan meminta aku menyanyikan salah satu laguku, karena dia suka sekali lagu itu. Rupanya ada teman sekampusku yang selalu memutar lagu-laguku sambil begadang di depan rumah, dan siswa SMA tetangga temanku itu ikut mendengar dari rumahnya. Peristiwa itu mulai sedikit menggugah keyakinanku untuk mempublikasikan karyaku. Tapi hingga saat ini aku masih juga pikir-pikir. Ada teramat banyak pertimbangan berseliweran.
Setiap lagu punya kisahnya sendiri-sendiri. Misalnya, “April 91“ adalah bulan dan tahun pembuatannya karena aku bingung harus memberi judul apa. Lagu itu berkisah tentang perempuan berbudi pekerti tinggi yang tak bisa kubalas perasaan cintanya karena nilai-nilai status. “Dibalik Diamku” paling memakan waktu pada saat isi vokal, gara-gara sering berhenti di tengah lagu menahan tangis teringat ibuku. Lagu “Persimpangan Hati” kutulis untuk mantan kekasih yang meneleponku sambil menangis menceritakan bahwa suaminya diam-diam menikah lagi. Aku memang lebih mudah menulis lirik berdasarkan kisah nyata dalam perjalanan hidupku sendiri.
Sudah 3 album berbentuk CD aku hasilkan. Lebih dari 30 lagu. Tidak banyak. Aku simpan saja semua. Sekali-sekali masih aku nyanyikan sendiri dengan gitarku di teras rumah, atau aku putar dalam mobil dan ikut bernyanyi berteriak-teriak di jalan bebas hambatan. Itu sudah menjadi suatu kepuasan tersendiri.
Kupikir-pikir, apakah aku merasa lagu-laguku biasa saja karena memang tak berkualitas? Atau karena aku nyanyikan sendiri? Apakah jika yang menyanyikan seseorang dengan suara merdu, pas dengan lagunya, kenyataannya bakal berbeda? Jawabannya: bisa jadi. Banyak jawaban yang memungkinkan mengingat apresiasi orang berbeda-beda. Namun tetap saja rasa minder tak mau hilang.
Tambah lagi aku bukan musikus yang pandai meramu aransemen musik. Musik yang kuracik serasa selalu saja kurasakan kurang bumbu. Malah barangkali aransemenku tergolong "ekonomis" dengan ketrampilan yang cetek. Andai saja yang mengaransir adalah penata musik kawakan seperti Ian Antono atau Jockie Suryoprayogo, pastilah akan terdengar jauh lebih baik. Wah, membayangkannya saja aku telah amat bahagia.
Sampai sekarang, sekali-sekali aku masih menulis dan merekam lagu-laguku walau lama kelamaan aku mulai merasa kesulitan menulis lirik. Waktu masih remaja rasanya mudah saja menulis syair lagu. Bukan hanya tema cinta. Aku bisa menulis tentang apa saja untuk lagu. Ide-ide mengalir deras masa itu. Sekarang aku bingung, kenapa jadi susah? Mungkin inspirasi memang bisa mengering. Atau apakah karena sekarang sudah banyak yang harus dipikirkan selain menulis lagu? Lagi-lagi jawaban yang muncul di kepalaku adalah: bisa jadi!
Aku sadari aku bukan seorang profesional. Aku merasa cuma bisa main musik, bisa bikin lagu, bisa menyanyi, dan naik panggung ditonton orang banyak. Sekedar bisa. ***