Aku mampir di warung nasi di wilayah Batu Tulis ketika berkunjung ke rumah teman di Bogor. Warung ini selalu kudatangi bila ke Bogor. Menunya ala Sunda dan disajikan secara sederhana saja. Tetapi warung ini tak pernah sepi pengunjung.

Aku nikmati sayur asam, udang goreng, tumis oncom, lalap dan sambal. Seperti biasa, di pojokan aku melihat bapak pengamen sedang asyik memainkan gitar kayu tuanya sambil bernyanyi. Suaranya merdu untuk ukuran seorang pengamen paruh baya. Ia pandai mengatur vokalnya agar tak terlampau bertenaga ketika meraih nada-nada tinggi. Sehingga kami yang sedang mengisi perut dapat benar-benar menikmati suasana menyenangkan.

Pernah kusaksikan, ketika tamu sedang ramai, bapak pengamen ini membantu mengangkat piring kotor ke dapur dan membersihkan meja. Setelah itu ia kembali bernyanyi. Mungkin itu salah satu “kontrak kerja”nya dengan pemilik warung. Bapak ini selalu berdiri di sudut ruang sambil bernyanyi. Ia tak pernah menghampiri tamu atau berkeliling ruangan. Diminta atau tidak diminta, ia terus menyanyikan lagu-lagu lembut membelai telinga para tamu. Bila ada tamu yang hendak keluar dari warung, barulah bapak itu menerima uang kecil dari mereka. Kadang juga tak menerima apa-apa. Kendati demikian ia terus bersenandung merdu.

Waktu itu jam menunjukkan pukul 12.10 dan di luar cuaca cukup panas. Di meja seberang tempatku duduk ada empat orang nyonya. Salah seorang dari mereka ikut bersenandung pelan mengikuti nyanyian si bapak pengamen. Yang lainnya manggut-manggut sambil terus mengunyah. Tak lama kemudian salah seorang nyonya melambai kepada si bapak pengamen dan memintanya berdiri di samping meja mereka agar suara sang bapak lebih jelas terdengar. Tampaknya para nyonya itu betul-betul menyukai suara dan lagu-lagu si bapak. Mereka meminta bapak itu membawakan lagu-lagu oldies pilihan mereka. Maka mengalunlah satu demi satu: My Way, Can’t Help Falling In Love, Release Me, Green Green Grass Home dan Unchained Melody dari suara merdu si bapak.

Aku ikut-ikutan tambah terhibur karena si bapak berdiri tidak jauh dari mejaku. Saat itu makan siangku sudah selesai. Sambil menikmati es teh manis, aku larut dalam nyanyian si bapak, dan berfikir pasti ia akan menerima “honor” lumayan dari empat tamu itu.

Di lagu terakhir, empat nyonya ini membayar makan siang mereka dan bangkit melangkah keluar, bahkan sebelum lagu terakhir selesai. Salah seorang kembali melambaikan tangan kepada si bapak sambil berkata: “terima kasih, ya?!”

Kenapa empat nyonya itu masuk ke warung ini? Apakah mereka pelanggan tetap atau hanya kebetulan lewat? Kenapa bukan tamu lain yang meminta si bapak tampil khusus di meja mereka? Kenapa mereka tidak memberi tip pada si bapak? Kenapa si bapak pengamen hanya tersenyum mengangguk sopan lalu kembali ke sudut ruang dan meneruskan nyanyian? Sederet pertanyaan lain melintas di kepalaku.

Jawaban yang bisa kucerna adalah bahwa semua itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan skenario Yang Maha Kuasa. Aku ingat pada seorang tukang ojek yang mangkal di depan gang dan tak mendapat seorang penumpang pun. Ketika sang tukang ojek tancap gas dari depan gang itu, muncul seorang calon penumpang yang akhirnya diangkut oleh tukang ojek yang baru datang. Kenapa mereka baru muncul ketika tukang ojek pertama pergi? Kenapa calon penumpang itu tidak keluar lebih awal?

Aku yakin itu bukanlah kebetulan, dan pastilah teramat banyak kisah kehidupan manusia yang bisa kita yakini bukan sebuah kebetulan melainkan telah ditetapkan oleh Sang Maha Pencipta.

Aku bangga pada si bapak pengamen, yang tetap tersenyum dan bernyanyi. Karena ucapan terima kasih sudah cukup membuat dirinya bahagia diapresiasi dengan baik. Karena alam pikirnya terbiasa mencerna kebetulan demi kebetulan yang lalu lalang di hadapannya setiap hari. Yang membuatnya tetap konsisten menghibur. Yang membuatnya tetap bersyukur berapapun besarnya nafkah yang bisa ia bawa pulang untuk keluarganya. Peluang menghantarkan banyak kemungkinan “kebetulan” yang tak pernah bisa ia tebak. Si bapak sadar ia hanya wajib berusaha menangkap peluang.

Bukan pula suatu kebetulan, aku menyaksikan peristiwa ini di warung langgananku dan belajar sesuatu dari apa yang - bukan kebetulan - kusaksikan. ***