Izinkanlah saya untuk sedikit iseng mengajak anda mempermainkan kalimat “Bahasa Menunjukkan Bangsa” yang kita kutik menjadi “Bahasa Menunjukkan Anda”. Dan demi menggiring topik tulisan ini, mari kita ganti kata “Anda” dengan “Mahasiswa” sehingga peribahasanya menjadi “Bahasa Menunjukkan Mahasiswa”. Kemudian kalimat itu bisa kita perkecil lagi lingkupnya. Misalnya dari cara dan gaya bicara semestinya kita bisa melihat bahwa bagi banyak pemula alias yunior, kalimat itu menjadi “Bahasa Menunjukkan Yunioritas”. Dan bagi mereka yang sudah duduk di semester “mentok”, perubahannya menjadi “Bahasa Menunjukkan Senioritas”.

Kotak-katik kalimat di atas pernah tanpa sengaja saya lakukan dulu di tengah obrolan sesama teman kuliah di kampus, hanya gara-gara salah satu senior kami yang kadar egonya telah mencapai level super. Saat bicara, ia lupa titik apalagi koma. Ketika melempar ide dalam rapat, ia tak peduli durasi pidatonya. Dan yang lebih membuat bulu kuduk berdiri, saat kepepet, ia tak segan-segan mengingatkan bahwa umurnya paling tua di antara kami.

Waktu itu (maksud saya saat mengobrol tadi), “Bahasa Menunjukkan Senioritas” kami pakai untuk sang senior tersebut di atas. Kami percaya bahwa senior seharusnya mahasiswa dengan isi kepala bernas dan keteladanan yang berkualitas.

Kejadian paling sering saat mana kita dapat merasakan bobot suatu isi kepala adalah ketika si empunya kepala sedang bertutur. Karena itulah, kami sepakat untuk melihat senioritas dari tutur bahasanya. Itu syarat nomor wahid, dan seyogyanya dilengkapi lagi dengan keteladanan. Senioritas adalah banyak bicara dengan kalimat bernas sekaligus banyak bekerja dengan keteladanan berkualitas.

***

Beberapa hari kemudian, saya kembali mengulang keisengan untuk merangkai sendiri suatu istilah karbitan baru: “psikoseniorologi”. Istilah ini – karena ada akhiran logi – mengandung muatan ilmu. Dan psiko bermuatan rohani, mental, atau kepribadian. Jadi, istilah karbitan itu bagi saya menelurkan makna “ilmu kejiwaan senioritas”.

Saya yakin, psikoseniorologi penting untuk para senior sekaligus para yunior. Melalui banyak pengamatan langsung, boleh kita tarik kesimpulan bahwa senioritas adalah kedewasaan berpikir, bertindak, dan bertutur. Sehingga adalah salah jika ada yang melihat senioritas hanya berdasar pada usia, apalagi ukuran besar tubuh dan kekuatan otot.

Uraian di atas membeberkan tiga jurus sederhana dalam melihat tingkat senioritas, yaitu penilaian atas pola pikir, tindakan, dan tutur wicara yang dewasa. Rosihan Abdulhaq, seorang rekan alumni yang juga editor pada harian Pikiran Rakyat, punya istilah lain lagi ketika mencaci tindakan tak pantas oleh seorang mahasiswa, dengan ejekan tidak mahasiswawi. Dari ejekan itu, saya tarik lagi satu istilah baru, yakni: “mahasiswawi”. Tidak terlalu sulit untuk memahami makna kata itu. Sebagaimana manusia yang seharusnya benar-benar menjadi manusia sesuai kodratNya sehingga berbeda dengan hewan, tumbuhan, dan benda-benda mati, maka mahasiswa juga seharusnya benar-benar menjadi mahasiswa sesuai batasan dunia pendidikan tinggi. Mahasiswawi, ada dalam kampus dimana pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat diselenggarakan. Mahasiswawi ada dalam dunia kemahasiswaan yang dinamis. Persoalan yang masih ada kini hanyalah apakah kita menyadarinya?

Menilai kadar senioritas adalah menilai kapasitas dan bobot kemahasiswaan yang berpancar dari kodrat mahasiswawi. Lewat telaah sedikit lebih jauh ke depan melalui psikoseniorologi, maka akan lebih banyak wawasan kita dapatkan.

Manusia, jelas harus manusiawi agar dapat berbeda dengan hewan, tumbuhan, atau bebatuan. Dan mahasiswa harus mahasiswawi agar mutlak berbeda dengan pelajar sekolah menengah, apalagi sekolah dasar. Tetapi tidak semua mahasiswa bisa mahasiswawi, sebagaimana begitu banyak kisah nyata di dunia yang membeberkan ketidakmanusiawian manusia.

Namun mahasiswawi identik dengan senioritas dan terlihat otomatis lewat nilai plus pada aktifitas berpikir, bertindak, dan bertutur. Mahasiswawi selalu ada dalam bab-bab kitab psikoseniorologi karena melihat senioritas berarti melihat “roh” mahasiswawi.

Apakah anda pusing dengan psikoseniorologi mahasiswawi? Harus saya akui, saya sendiripun sudah cukup keder bermain kata dan butuh bantuan anda untuk segera memasukkan kata “psikoseniorologi” serta kata “mahasiswawi” ke dalam kamus karbitan bahasa Indonesia! ***