Beberapa kali aku mendengar anakku menjawab "Insya Allah" bila ia diminta melakukan sesuatu. Misalnya saat ia membantu menyapu lantai dan istriku memintanya meletakkan sapu di dapur setelah selesai nanti, ia menjawab: "Insya Allah". Atau ketika hendak berangkat ke sekolah, istriku berpesan jangan sampai lupa memakan roti yang dibawanya dalam kotak plastik, ia pun menjawab: "Insya Allah".
Sekali dua kali kudengar jawaban itu seolah sedikit nakal dan kadang lucu. Intonasinya seperti mengejek. Tetapi istriku tak marah, dan anakku selalu bisa melakukan apa yang diminta.
Disadari atau tidak, anakku telah membiasakan diri mengucapkan “Insya Allah” atas setiap janji yang diucapkan. Tadinya aku berfikir, tidakkah cukup menjawab "Ya" jika diminta meletakkan sapu di dapur atau makan bekal roti yang dibawa ke sekolah? Semakin sering kudengar jawaban itu semakin aku menyesali pemikiranku tentang nakal, lucu dan nada mengejek tadi.
Segala sesuatu di dunia ini mutlak terjadi dan berlangsung atas kehendak Yang Maha Kuasa. Kalau kita renungkan, bukan hanya lulus sekolah, gempa bumi, hujan, pernikahan, bahkan tiap detak jantung dan tarikan nafas adalah atas kehendakNya. Tentu saja termasuk apakah kita bisa meletakkan sapu di dapur atau memakan roti bekal di sekolah. Yang akan terjadi sepersekian detik kemudian pun tidak akan terjadi bila Allah tak mengehendaki.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa “Insya Allah” sering diucapkan seseorang hanya untuk memperhalus ketidakpastian atau sebagai modal “jaga-jaga” bila suatu janji kelak tak dapat terpenuhi. Bila seseorang mengucapkannya maka itu artinya kemungkinan besar ia tak akan melakukan apa yang diucapkannya. Pendapat ini bisa jadi ada benarnya, bila ucapan “Insya Allah” memang diniatkan untuk maksud tersebut. Tetapi kita tidak akan pernah tahu motivasi seseorang dibalik ucapan “Insya Allah” terhadap janji-janjinya. Yang jelas setiap ucapan kelak akan diminta pertanggungjawabannya oleh Yang Maha Besar.
Bila sebuah janji, niat, rencana, atau apapun namanya, kita sertai dengan “Insya Allah”, setidaknya ada dua keuntungan yang dapat kita peroleh. Pertama, apabila terpenuhi maka kita bersyukur bahwa Allah mengijinkan dan memberikan kemampuan kepada kita untuk mewujudkannya. Kedua, apabila tidak terpenuhi, maka akan ada keikhlasan berdasarkan keyakinan bahwa Allah belum berkenan mengijinkan dan pasti ada hikmah di baliknya.
Terus terang aku sendiri sering alpa mengucap kalimat itu. Insya Allah, aku bisa meniru kebiasaan anakku mengucapkan “Insya Allah”. ***