Perjalanan hidup manusia selalu dihadapkan pada kebaikan dan keburukan. Baik atau buruk sering datang berupa pilihan. Selalu saja ada kesempatan menemukan, memilih, dan mengalami fenomena baik dan buruk. Semuanya berujung akibat yang bisa sama bisa juga tidak dengan apa yang kita pilih dan alami. Yang baik biasanya berakibat baik. Kadang sebaliknya, yang baik bisa saja berakibat buruk, tetapi bisa pula yang buruk justru bertujuan demi kebaikan. Tidak jarang ada kebaikan yang dibalas dengan keburukan, dan keburukan dibalas dengan kebaikan.
Apapun kasusnya, tentu yang terbaik adalah kita dapat tetap tegakkan prinsip bahwa dalam segala hal kita memilih yang baik daripada yang buruk. Kita memilih melakukan segala sesuatu yang baik disertai niat yang baik demi kita dan orang lain. Kita pun tentu berkeinginan agar yang kita alami dan rasakan adalah sesuatu yang baik untuk kita dan orang lain. Kebaikan seharusnya selalu terasa indah bagi semua orang.
Pernah seorang sahabat datang berkeluh kesah bahwa ia telah ditipu oleh temannya dalam urusan usaha kecil. Setelah satu dua jam berbincang, ia tersenyum mengatakan “biarlah aku tertipu asal jangan aku yang menipu”. Sebuah sikap positif yang kuhargai, bahwa dalam kasus yang ia alami, keikhlasannya menjadi yang tertipu memberinya pelajaran untuk tidak kembali mengalaminya.
Keikhlasan untuk menjadi obyek dan berjiwa besar menerima kegagalan, kesedihan, kekecewaan, dan semacamnya adalah sikap yang positif. Tentu diiringi upaya untuk mempelajari hikmahnya agar tidak terjatuh kembali ke dalam lubang yang sama.
Dalam contoh-contoh sederhana, kita bisa mencatat perilaku buruk orang lain yang dapat menimpa kita seperti penipuan, kebohongan, pengkhianatan, dan lain-lain. Dalam hal ini kita adalah obyek dari penipuan, kebohongan, atau pengkhianatan. Sedangkan yang melakukan keburukan itu kepada kita adalah subyeknya. Seseorang menipu, membohongi atau mengkhianati kita, lalu kita menjadi orang yang ditipu, dibohongi atau dikhianati.
Ada subyek dan obyek dalam fenomena keburukan. Begitu pula dalam kebaikan. Persoalannya, kita akan menjadi subyek atau obyek? Dalam setiap kebaikan, apakah kita bisa selalu teguh menjadi subyek? Dan ikhlas bila kita memperoleh pengalaman menjadi obyek dari keburukan?
Keihklasan kita menjadi obyek keburukan, akan lebih banyak memberi hikmah kehidupan. Dan menjadi subyek kebaikan akan memberikan kebahagiaan.
Mari kita mulai mencoba - untuk semua yang baik-baik - mengutamakan memberi daripada diberi, memuji daripada dipuji, dan seterusnya. Kemudian mari pula kita ikhlaskan diri menerima kenyataan menjadi yang difitnah daripada memfitnah, dihina daripada menghina, dan seterusnya untuk semua yang tidak baik. Teguh dalam ketulusan dan keikhlasan akan mendewasakan kita.
Idealnya, setiap pihak dapat menjadi subyek dalam hal kebaikan, dan kesabaran. Sehingga dalam perkara menghormati, kita akan saling menghormati. Dalam urusan menyayangi, kita akan saling menyayangi. Saling membantu, saling menjaga, saling mencintai. ***