Tidak berbeda dengan tahun lalu, aku hanya bisa tidur di malam pergantian tahun. Tepat seminggu sebelum 31 Desember 2010, aku menderita demam tinggi dan tubuh yang terus menggigil. Hasil periksa darah di laboratorium memvonis demam berdarah dan aku harus masuk kamar perawatan. Jarum infus ditancapkan di punggung tanganku. Aku terkulai tak berdaya. Terbaring lemah diayun detak jarum jam menuju detik pergantian tahun. Tik ... tak ... tik ... tak …
Dan ketika kumandang terompet berbaur dengan ledakan kembang api di angkasa, aku masih terbaring dengan mata terpejam walaupun tidak tertidur. Anak-anak dan istri pergi ke halaman parkir rumah sakit untuk menikmati pemandangan langit di malam tahun baru. Kasihan mereka. Namun apa daya, aku sendiri hanya bisa berbaring membayangkan kemeriahannya.
Tetapi jatuh sakit seperti inipun menjadi kenikmatan. Aku bisa beristirahat sejenak dari rutinitas hidup. Bisa bermanja-manja karena tak cukup tenaga untuk melakukan ini-itu. Bisa bersyukur karena agamaku mengajarkan bahwa peristiwa sakit memberi hikmah penghapusan dosa-dosa kecil. Setiap menit kulalui dengan bersantai. Tubuhku ngaso meski pikiranku tidak.
Sambil tetap berbaring aku merenung, mengevaluasi dan mengatur rencana. Banyak yang sudah kulalui dalam 2010. Banyak pula yang aku rencanakan untuk 2011. Aku memang harus selalu punya rencana untuk masa depan yang lebih baik. Kerja keras tentu sudah membayangi setiap rencana. Karena rencana dan impian, betapapun hebatnya, menuntut kerja keras untuk mewujudkannya.
Letusan kembang api terdengar lagi. Terompet kertas melengking lagi.
Akupun tertidur lagi. Tik ... tak ... tik ... tak … zzz … ***